詩評 4. (Wahyu Budiantoro)(나정숙/김영자)

작성자김영수|작성시간22.04.09|조회수207 목록 댓글 0

 

 

 

, 女性 그리고 象徵

 

와휴 부이안또로 (Wahyu Budiantoro)

 

 

문학 작품의 장르인 시는 남성, 또는 여성, 어느 누구라도 성의 구분 없이 있고, 감상할 있다고  본다. 시의 기본은 언어이며 인간의 기본 조건 하나도 언어라고 본다. 따라서 인간 존재 (남성 또는 여성) 언어 구사 능력에 연계되어 있다고 있다. 시는 여러 가지 주제를 다룰 있다고 본다. 예를 들어 경험주의를 바탕으로 , 또는 형이 상학적인 내용, 개인적인 서정시로부터 공공 성격을 내포한 , 그리고 자연 풍경을 담는 주제까지 다양하게 아우를 있다고 본다. 그러한 주제를 살리기 위해 시인은 시의   부분으로 참여하여 절제되고 효과적인 시어를 구사를 통해 좋은 시를 창조해 내려고 한다. 한편 주제의 강력함과 시어 구사의 능력은 안에서 창조해 내는 상징을 통해 결정할 있다고 본다. 시평에서는 시에 나타난 여성성과 상징에 관해  언급하고자 한다.

 

여성의 삶은 타인을 위한 삶이라고 있다. 이해득실을 떠나 여성의 위치는 배우자 또는 대리인에 의해 정해진다고 있다. 많은 여성들은 가족과 가사 노동 그리고 이웃과의 관계로 , 간접으로 연계되어 있음을 본다. 전체적으로 진행되는 일반적인 현상은 아니지만 여성과 관련된 남성의 위치에 따라 여성의 지위가 정해지는 상황이 그것이다.    

 

일반적으로 여성은 가정을 떠난 이외의 상황에 대해 활발하게 기여할 없는 가사 노동자(home maker)로서 제한, 간주되곤 한다. 따라서 그들의 활동 영역은 가정 안에 국한되는 경우가 많다아직까지도 여성들은 문화, 신화 그리고 관습 등에 얽매여 있다고 본다. 생산적인 부분과는 거리가 지역에 위치해 있다고 있다. 그러나 여성들도 인간으로 그들의 권리를 주장하기 위해 남성성에 대항하여 남성들만의 독점적인 견해를 바꾸려고 부단히 노력하고 있음을 본다.

 

권리에 대해 이야기하는 것은 가장 기본적인 문제라고 있다. 하나가 언어를 바탕으로 문학 작품 창조가 범주에 있다고 본다. 필자의 견해로는 시대에 있어 남성과 여성의 능력이 문학 창조 분야에 있어서는 거의 대등하다고 본다. 예를 들어 작품 창조 과정에 있어 많은 여성 시인들이 강력한 이념의 시어를 구사하고 있음을 본다. 결과 그들이 구사하는 시어 역시 독특한 성격을 띄고 있음을 수가 있다.  

 

***

 

한국에는 유망한 문단이 많으며 <시와 산문> 하나이다. 문단에는 여러 명의 여성 시인들이 참여하고 있으며 전남 광주 출신으로  조선대학교를 졸업한 나정숙 시인도 포함되어 있다.

 

깁다

 

벽에 아버지가 걸려 있습니다

이제는 해져서 빛이 바랜 아버지

꿰맬 자리를 찾다 성긴 바늘땀을 봅니다

 

맞은 손으로 군데군데 쉬어

어머니

여기 계셨군요

 

아버지의 거친 양손에 실타래가 걸려 있습니다

손가락에 침을 뱉어 가며 엉키지 않게 살살

실을 감고 있는 어머니

...

 

나정숙 시인의 깁다 어렸을 추억을 반추해 내고 있다. 필자는 시에서 /벽에 아버지가 걸려 있습니다/이제는 해져서 빛이 바랜 아버지/라는 연에 눈길을 준다. 부분이 하나의 상징으로 받아 드려지고 있기 때문이다. 사실 벽에 걸린 것은 아버지가 아닌 사진틀 안에 있는 아버지의 사진을 의미하고 있다. 부분에서 아버지의 부재와 슬픔을 상징적으로 표현하고 있다고 본다. 사실 나정숙 시인은 아버지 부재에 따른 슬픔을 느끼지 못했을 것이다. 왜냐면 그녀가 10살때 다른 부끄러움을 느꼈기 때문이다. /덧대진 빨간 양말이 부끄러운 살의 / 나정숙 시인은 시에서 그녀 자신을 화자로 위치 시키면서 어렸을 슬픈 이야기를 풀어내고 있다

 

곰소항

...

전화기 신호음이 울리는 동안

나는 물오른 곰치가 되었다가

우렁쉥이 되었다가

선창에 쭈그려 앉은 젓갈 그릇이 된다

...

 

시에서 나정숙 시인은 실제적인 상황을 그리면서 그녀 자신을 곰소항의 부분으로 상징시키고 있다. 곰소항은 한국 전라북도 바닷가에 위치해 있는데  시인에 따르면 곰소항은 해일을 맞은 적이 있다. /해일이 쳤는지 유리가 깨진 부스에서/동전이 떨어지는데/ 시에서 나정숙 시인은 자신을 서로 다른 주제의 안에서균열된 상징으로 치환 시키고 있다. 첫번째 주제는 가정 내부에 대한 내용이고 두번째 주제는 곰소항이라는 외부에 대한 내용이다.

 

필자 견해로는 나정숙 시인의 강점은 독특한 주제에 대한 묘사와 필사가 특징이라고 있다. 김영자 시인의 다음 시도 마찬가지로 있다.

 

봄이 님의 얼굴이었습니다

...

한낮엔 봄을 님이라 불렀습니다

옷자락 만지던 날은

꿈속이었지만

오늘은 배꽃을 받으며 님을 만났습니다

...

봄이 되어 오신 나의

봄이 님이었음을 이제야 알았습니다

봄이 님의 얼굴이었습니다

 

나정숙 시인의 상징은 주제의 균열(해체)로부터 시작이 된다. 반면에 김영자 시인의 상징은 신에 대한 연민으로부터 시작이 된다. / 옷자락을 만지던 / 함께 김영자 시인은 신에 대한 그리움을 봄이라는 상징으로 나타내고 있다. 신은 김영자 시인의 손을 통해 하얀 봄으로 상징되어지고 있다.  그러나 그러한 상징도 다만 꿈속일 뿐임을 밝히고 있다.  

 

시인은 그들의 경험을 시어의 상징을 통해 적극 묘사 하고 있다. 여기서 우리들은 여성의 존재는 사적인 영역 또는 공적인 영역에서 존립될 있음을 본다. 영역은 여성의 안에서 공정하게 양분되어 있다고 있다.

 

[글쓴이 소개]

 

 

 

와휴 부디안또로 (Wahyu Budiantoro), 인도네시아 뿌르오꺼르또에서 출생. 뿌르오꺼르또 SKSP(Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) 학교장 강사. 작품이 일간지 Republika, Bali Pos, Pikiran Rakyat 게재. 수필 작품은  Basabasi.co, Suara Merdeka 등에서 실림. 수필 가자마다 대학교 개최언어의 공모전에서 우수상 수상 (2019), 중부 자바 언어학회 개최 (2019), 2020 반유마스 예술위원회로부터 정부가 주는 “Anargya Serayu Penawara”  수상. 최신 저서로는 Epistemologi Komunikasi Trasendental (대화 인식론) (2021) Impresi Tentang Puisi (시에 대한 인상)(2022) 등이 있다

 

 

 

 

Puisi, Perempuan dan Simbol

 

Wahyu Budiantoro[1]

 

Sebagai karya seni yang agung, puisi ditulis oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Basis dari puisi adalah bahasa. Kebutuhan dasar manusia juga berbahasa. Sehingga, eksistensi manusia (laki-laki maupun perempuan) ditopang oleh  kemampuannya dalam berbahasa. Di samping bahasa, puisi bisa juga berangkat dari beragam peristiwa; empirik maupun metafisik. Dari yang lirik-privatif, publik, maupun landscape. Siapa yang bisa menghayati diri menjadi bagian dari peristiwa itu, kemudian menguasai bahasa dengan baik, kemungkinan besar dapat menulis puisi dengan baik. Sebab, kekuatan peristiwa dan kemampuan berbahasa akan menentukan simbol yang diciptakan dalam puisinya. Esai ini sedikit menyinggung ihwal perempuan dan landscape dalam puisi.

Kehidupan perempuan hakikatnya merupakan kehidupan bagi orang lain, yang keuntungan atau kerugiannya harus dikaitkan dengan orang lain yang bertindak sebagai pemilik atau wali perempuan tersebut. Peran perempuan yang banyak berhubungan dengan masalah pengurusan keluarga dan rumah tangga membuat kedudukan perempuan dalam masyarakat sedikit banyak tergantung pada kedudukan laki-laki. Meskipun tak semua fenomena gender berjalan semacam itu.

Perempuan umumnya selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik (home maker) yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah tangga, sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Perempuan masih saja terbelenggu dengan budaya, mitos, dan jauh dari kata kompetensi yang sehat di ranah produktif. Akan tetapi, perilaku wanita juga bisa berubah layaknya perilaku laki-laki yang disebabkan keinginan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita.

Bicara soal hak, sama halnya bicara soal kebutuhan dasar. Salah satunya adalah kebutuhan berbahasa dan berkarya. Saya kira laki-laki dan perempuan di era sekarang, dalam konteks kreatif, layak disejajarkan atau mitra sejajar dalam istilah Gus Dur. Pada proses kreatif penulisan puisi misalnya, tak sedikit penyair perempuan mampu memunculkan ide yang kuat, sehingga kreasi bahasa dalam puisinya juga memunculkan ciri khas.

***

Di Korea, terdapat sebuah komunitas sastra yang sangat berkembang bernama Siwa Sanmun. Komunitas ini juga mengangkat beberapa nama penyair perempuan ke panggung sastra. Setidaknya hal itu dirasakan oleh Na Jeong Suk. Perempuan kelahiran Kwangju, Provinsi Jeonlla. Dia juga alumni Universitas Chosun.

 

Menjahit

 

Ayahku digantung pada dinding

Kini, ayah menjadi usang dan pudar

Sambil mencari bagian yang perlu dijahit.

Melihat bekas jahitan longgar

 

Ibuku berada di situ

Untuk beristirahat sejenak sana sini

Dengan tangan yang lumpuh

 

Di dua tangan ayahku yang kasar tergantung kilai

Ibu sedang memintal benang dengan halus

Sambil meludah pada jari tangannya untuk mencegah kusut

...

 

Ada peristiwa masa kecil dengan aroma kesedihan pada puisi “Menjahit” anggitan Na Jeong Suk. Saya membayangkan kalimat /ayahku digantung pada dinding/ kini, ayah menjadi usang dan pudar/ menjadi peristiwa faktual yang menjadi simbolik. Tentunya yang digantung bukan ayah (tubuh), melainkan pigura berisi foto ayah, dengan segenap masa lalu, rasa kehilangan juga kesedihan. Saat kecil, Na Jeong Suk belumlah memahami perasaan tersebut, sebab pada saat itu dia /berumur 10 tahun yang masih merasa malu untuk/ mengenakan kaos kaki merah yang dijahit/. Na Jeong Suk dalam puisi tersebut memposisikan diri sebagai pengisah, dari kisah kesedihan masa kecilnya.

Bandingkan dengan puisi di bawah ini:

 

Pelabuhan Gomso

...

Selama pesawat telepon berdering dengan bunyi sinyal

Aku menjadi ikan moray yang segar

Menjadi ascidian

Atau menjadi bejana belico yang cengkung di dermaga

...

Dalam puisi ini Na Jeong Suk berupaya mempersepsi peristiwa faktual untuk kemudian menjadikan dirinya sendiri sebagai simbol atas kompleksitas Pelabuhan Gomso. Pelabuhan Gomso ialah sebuah pelabuhan di tepi laut, Provinsi Jeonlla Utara, Korea. Menurut Na Jeoung Suk, pelabuhan itu juga pernah diserang tsunami /kaca jendela tempat itu dipecah akibat tsunami/. Dari kedua puisi di atas, Na Jeong Suk memposisikan dirinya sendiri menjadi “simbol yang retak” atas dua peristiwa yang berbeda. Pertama, peristiwa internal keluarga. Kedua peristiwa eksternal yang berkaitan dengan Pelabuhan Gomso.

Saya kira kekuatan Na Jeong Suk adalah upaya potret sekaligus perekaman peristiwa yang spesifik. Kim Young Ja juga demikian

 

Musim Semi adalah Wajah-Nya

...

Pada siang hari, musim semi disebut Kekasih-Nya

Hari yang menyentuh ujung pakaian putih

Tetap terbayang di dalam mimpiku

Tapi hari ini berhadapan Kekasih-Nya sambil menerima bunga per

...

Datanglah kekasih-Nya bersama musim semi

Baru Sadar musim semi adalah Kekasih-Nya

Musim semi adalah wajah Kekasih-Nya

 

Bila simbol yang dibangun oleh Na Jeong Suk bermula dari “keretakan-keretakan peristiwa”, Kim Young Ja berangkat dari kerinduannya kepada Tuhan, bersama /hari yang menyentuh ujung pakaian putih/. Kim Young Ja berupaya untuk menerjemahkan kerinduannya kepada Tuhan melalui simbol musim semi. Tuhan disimbolkan oleh Kim Young Ja melalui peristiwa musim semi yang putih, anggun dan indah. Akan tetapi, dia hanya bisa merasakannya melalui mimpi.

Kedua penyair yang disebut tadi saya kira telah berupaya mencurahkan pengalamannya atas peristiwa tertentu dengan menciptakan simbol yang privat maupun publik. Artinya, eksistensi perempuan juga bisa hidup pada wilayah privat dan publik. Keduanya seimbang. Sehingga, tak ada lagi dikotomi peran yang diskriminatif dalam kehidupan.

 

 

 


[1]  Wahyu Budiantoro merupakan pengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Buku terbarunya berjudul Epistemologi Komunikasi Trasendental (2021) dan Impresi Tentang Puisi (2022).  

 

 

 

 

 

 

다음검색
현재 게시글 추가 기능 열기
  • 북마크
  • 공유하기
  • 신고하기

댓글

댓글 리스트
맨위로

카페 검색

카페 검색어 입력폼